Kekuatan Rasa Aman
Baru-baru ini saya menghadiri Indonesia Millenial Summit 2020 yang dihelat oleh IDN Times. Pas saya masuk ke ruangan, ternyata sudah berbondong-bondong orang mencari tempat duduk. Rupanya, sesi kali itu akan menampilkan Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Untungnya saya mendapat tempat duduk yang strategis.
Selama kurang lebih 30 menit, beliau bercerita seputar pengalamannya serta visi misinya untuk pendidikan Indonesia. Berikut kira-kira beberapa kutipan yang saya catat:
“Apa ciri-ciri sekolah yang terbaik… Mereka biasanya agak bandel menemukan sistem prosesnya sendiri, berinovasi sendiri. Keluar dari jalur-jalur sendiri untuk menemukan titik temunya sendiri… Itu adalah organization culture-nya. Culture daripada sekolah itu adalah culture of learning dan culture of inovation. Itu adalah culture dimana banyak tanya, banyak coba, banyak karya.”
“Culture of innovation punya orang-orang yang punya growth mindset. Ini adalah objektif sistem pendidikan kita, untuk menciptakan anak-anak yang punya growth mindset apapun passion-nya. Ini tidak bisa dilakukan hanya dari administrasi pendidikan. Ini harus dilakukan dengan transformation of culture change. Ini harus diserang dari berbagai penjuru. Merdeka belajar adalah seluruh solusi ini. Yang akan memerdekakan unit pendidikan untuk melakukan inovasi dan merubah mindet-nya menjadi learning culture bukan administrative culture.”
“Pembelajaran hanya bisa terjadi kalau ada psychological safety dalam sekolah itu. mereka berani gagal, mencoba hal baru. Kalau murid bukan hanya pasif konsumtif tapi berpartisipasi dalam pendidikan. Membebaskan guru dari setumpuk birokrasi administrasi yang men-distract guru dari core function mereka: yakni mengajar.”
Hanya dalam beberapa menit saja saya langsung dibuat kagum oleh sosok lelaki muda ini. Apalagi beberapa waktu lalu saya juga baru memelajari tentang Project Aristotle yang dilakukan oleh Google. Maklum, saya amat tertarik dengan dinamika tim kerja, dan kebetulan memang proyek ini digawangi oleh Google untuk mencari rahasia tim yang hebat.
Ternyata, salah satu kunci untuk membentuk tim kerja yang efektif adalah: rasa aman. “Psychological Safety is a belief that a team is safe for risk taking in the face of being seen as ignorant, incompetent, negative, or disruptive… teammates feel safe to take risks around their team members… They feel confident that no one on the team will embarrass or punish anyone else for admitting a mistake, asking a question, or offering a new idea.”
Istilah Psychological Safety ini pertama dicetuskan oleh Organizational behavioral scientist dari Harvard, Amy Edmondson. Menurut dia, setiap manusia tidak mau terlihat bodoh, malas, tidak kompeten atau negatif. Bagaimana cara agar tidak terlihat bodoh? Ya jangan bertanya. Tidak mau terlihat tidak kompeten? Ya, jangan pernah mengakui kelemahan. Tidak mau terlihat intrusif? Ya jangan menawarkan ide. Tidak mau terlihat negatif? Ya jangan pernah mengkritik status quo atau pimpinan. Terdengar familiar kan? Anda juga bisa mendengar penjelasan Amy mengenai hal ini di video TED talks INI.
Jadi, saat mendengar Nadiem membicarakan psychological safety, saya kembali merasa tertarik. Di salah satu Podcast oleh Donald Miller, hal ini juga menjadi bahasan. Beliau bercerita bahwa di Seattle Seahawks ada kebiasaan yang dibawa pelatih Pete Carroll, yakni Tell-the-Truth Monday. Jadi setiap hari itu semua pemain tim akan berkumpul dan membahas semua kesalahan yang mereka lakukan di pertandingan sebelumnya. Bukan untuk tujuan menghukum atau mempermalukan orang tersebut, tetapi mencari cara agar hal tersebut bisa diperbaiki dan tidak terulang lagi. Fokusnya adalah – berusaha menjadi lebih baik.
Ada juga perusahaan yang memberlakukan “No Complaining Rule“. Yikes. Tidak boleh mengeluh saat di kantor. Ternyata, hal ini juga dilakukan untuk menciptakan suasana yang positif, berfokus pada usaha untuk memperbaiki diri dan menciptakan rasa aman. Jadi aturannya bukan sekadar tidak boleh mengeluh. Melainkan, setiap orang yang ingin mengeluhkan tentang sesuatu harus datang juga dengan solusi. Pintu selalu terbuka untuk masalah apapun – selama kita juga memikirkan solusi yang tepat untuk memperbaikinya.
Sungguh pintar!
Lalu saya berkaca pada kejadian beberapa hari terakhir, yakni saat Sucor mengadakan Rapat Kerja. Kebetulan saya bertugas sebagai MC acara selama dua hari penuh. Rasanya amat sangat gugup, mengingat peserta yang hadir adalah jajaran pimpinan manajemen, direksi dan komisaris. Tapi, saya memutuskan untuk melepas semua rasa khawatir karena saya yakin bahwa saya dikelilingi rekan kerja yang hadir untuk satu tujuan: membuat Sucor menjadi perusahaan yang lebih baik lagi. Saya merasa aman.
Saat itu juga, semua berjalan bak piknik di taman. Saya bisa melontarkan lelucon tanpa khawatir ada yang tersinggung. Saya bisa bercanda dan tahu bahwa semua akan menikmatinya. Dan rapat dua hari pun berlangsung begitu indahnya.
Demikian pula hal yang saya amati dari ruang kerja tim investasi di Sucor Asset Management. Semua orang bekerja tanpa agenda yang menguntungkan diri sendiri. Fokus mereka selalu pada apa yang akan membantu saya mengembangkan dana nasabah. Tujuan mereka didasari pada niat tulus untuk membantu setiap pemegang produk Sucorinvest mencapai mimpinya.
Mereka merasa aman, karena semua yang dilakukan berlandaskan pada prudent risk, complience dan transparansi. Jadi, saat semua dilakukan dengan niat yang baik, dan prosesnya semua juga baik, apa yang perlu ditakutkan? Ini adalah kekuatan psychological safety di kantor kami.
Saya sudah merasakan sendiri kekuatan rasa aman ini.
Apakah Anda siap mencoba?
Ditulis oleh Oriana Titisari, 20 Januari 2020.