Tahun Baru vs. Dekade Baru
Setelah tahun 2019 ditutup dengan kasus gagal bayar di dunia keuangan dan pasar modal, tahun baru 2020 ternyata dimulai dengan bencana banjir di Jabodetabek. Plus konflik Amerika Serikat vs Iran.
Doa saya untuk yang terkena dampak banjir Jakarta. Turut berduka-cita yang mendalam untuk yang kehilangan segalanya, bahkan nyawa.
Juga keprihatinan saya bagi mereka yang terkena kasus gagal bayar yang mengguncang dunia keuangan akhir-akhir ini. Kebetulan saya kenal langsung beberapa diantaranya, yang harus berlinang air mata kehilangan seluruh hasil kerja keras bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Ada yang “berinvestasi” untuk persiapan biaya kuliah anak yang memang tidak murah. Ada pula yang untuk persiapan pensiun dan biaya kesehatan. Simpati saya buat mereka yang telah begitu bersusah-payah berupaya menabung.
Tulisan kali ini akan berfokus pada kasus gagal bayar, sesuai dengan bidang kerja saya.
Dengan segala badai keuangan yang melanda, tentu sangat natural untuk berfokus pada segala kesulitan hidup dan memilih mentalitas sebagai victim, sebagai korban. Amat sangat wajar.
Akan tetapi, sebenarnya ada sudut pandang lain. Kita bisa melihat 2020 sebagai tahun baru. Namun kita juga bisa melihatnya sebagai awal dari dekade baru. Banyak hal yang bisa diobati dengan waktu. Termasuk ketika kita salah berinvestasi.
Tahun baru v.s. Dekade baru.
Besar sekali perbedaannya. Begitu kita mengambil mindset jangka panjang, melihat 2020 sebagai awal dekade baru dan bukannya sekadar tahun baru, tiba-tiba banyak harapan baru.
Menghadapi kasus di dunia pasar modal, tiba-tiba ada keberanian untuk membuat kesalahan lagi, karena toh setiap investor akan membuat kesalahan. Bahkan selevel Warren Buffet atau Ray Dalio sekalipun. Dan waktu adalah obat yang terbaik untuk memperbaiki portofolio yang terkena dampak kesalahan kita. Tanpa keberanian untuk kemungkinan melakukan kesalahan lagi, kita tidak akan berani bergerak.
Setiap orang bisa beruntung dalam jangka pendek, tapi karakteristik dari orang besar adalah kemampuan untuk selalu bangkit dan belajar dari kesalahan. Terus berjuang dan bangkit di saat yang lain sudah menyerah. Sukses mereka bersumber dari keteguhan hati, keberanian, dan keuletan menghadapi tantangan hidup di saat yang paling sulit sekalipun.
Ada pepatah dari Jepang “jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali.” Kita boleh jatuh tujuh kali asalkan bisa bangkit delapan kali. Selalu bangkit dan terus belajar, itu kualitas yang yang layak dikagumi.
Masih di Jepang, ada satu kuil Shinto terkenal di sana yang berusia 1400 tahun. Secara tradisi, kuil ini selalu diperbaiki setiap 23 tahun sekali. Sudut pandang alternatifnya adalah kuil ini bukan berusia 1400 tahun melainkan 60 kuil yang berturut-turut selalu mampu untuk memperbaiki diri setiap 23 tahun sekali. Supaya tetap eksis dan relevan.
Juga, begitu kita berpikir dalam kerangka dekade baru, tiba-tiba mentalitas victim dapat kita tanggalkan. Karena mulai melihat harapan dan melihat kejatuhan sebagai katalis untuk maju, bahkan katalis untuk kebahagiaan. Karena kebahagiaan yang sejati dan berarti datang dari perjuangan hidup. Bukankah weekend bersama keluarga terasa begitu nikmat karena kita telah berjuang keras selama weekdays?
Tentu ini sama sekali tidak berarti kita tidak boleh mencari support atau bantuan di saat kita terjatuh. Toh esensi dari hubungan pernikahan, kekerabatan, persahabatan, atau partnership adalah saling mendukung di saat susah?
Mencari support adalah hal yang baik. Tetapi dengan berhenti melihat diri kita sebagai victim, kita mendapatkan support karena kita MEMILIH untuk mendapatkan support.
Bukan karena kita merasa diri kita sebagai victim yang memang sudah SEHARUSNYA di-support. Dalam konteks ini, kalau kita tidak mendapatkan support, kita akan sangat kecewa, bahkan depresi. Bahkan bukan tidak mungkin kehilangan semangat hidup.
Victim merasa support adalah haknya dan hak ini kemudian berevolusi menjadi kebutuhan emosional. Kebutuhan emosional ini akan berbuah kecanduan untuk menciptakan lebih banyak “problem yang harus dipecahkan” oleh orang di sekitar. Mengapa bisa berbuah kecanduan? Karena problem yang diciptakan akan bermuara pada victim mencari dan mendapatkan perhatian, demi memenuhi kebutuhan emosionalnya.
Prosesnya mirip pusaran air yang memiliki aliran ke bawah secara vertikal. Bahasa sahamnya: lower lows. Berpikir dalam konteks dekade baru, bukan sekedar tahun baru, dapat membawa harapan baru yang membantu untuk keluar dari mentalitas victim.
Yang juga tidak kalah penting adalah kemampuan untuk memaafkan diri sendiri. Karena sebagai manusia biasa (mere mortal), kita membuat kesalahan dalam pengukuran dan asumsi, kurang obyektif, salah ingat, salah menimbang probabilitas, dan suka emosional dalam mengambil keputusan. Semuanya manusiawi.
Kalau standar kebahagiaan kita adalah terbebas dari kesalahan dalam pengambilan keputusan, kita akan mudah frustasi dan cenderung tidak mau memaafkan diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa belajar dari kesalahan kalau memaafkan diri sendiri saja begitu sulit?
Masa lalu tidak mempunyai kekuasaan untuk mencegah kita dari being present, dari hidup di saat ini. Hanya amarah dari beban pikiran masa lalu yang dapat mencegah kita untuk living in the moment. Masa lalu ini akan menjadi jangkar dari kehidupan kita dan terus terakumulasi. Makin lama makin sulit keluar dari masa lalu.
Kenyataannya adalah akan lebih mudah bagi diri kita untuk memaafkan diri sendiri kalau kita percaya bahwa 2020 ini adalah awal dekade baru, bukan sekedar tahun baru. Kok bisa? Karena perspektif kita akan berbeda total, kalau percaya bahwa kita punya waktu satu dekade penuh untuk memulihkan diri dan memperbaiki kesalahan.
Saatnya untuk mulai hidup di saat ini, bukan di angan-angan masa depan dan bukan pula dalam jebakan masa lalu.
Ok, kalau mau hidup di saat ini, bagaimana cara memilih reksa dana? Ada beberapa cara sederhana yang sebenarnya bisa dipakai. Misalnya, kita lihat tracking error historis reksa dana yang sedang kita pertimbangkan. Kalau pernah berbeda performance-nya dengan indeks lebih dari 3% dalam SEHARI, ada kemungkinan reksa dana ini isinya banyak nama-nama saham “ajaib”.
Mengapa demikian? Soalnya reksa dana konvensional (non-syariah) itu dibatasi per-counter saham maksimum alokasi 10%.
Bisa jadi perbedaan return dengan indeks per hari melebihi 3% itu disebabkan banyak nama-nama yang tidak begitu likuid di reksa dana tersebut, bukan nama-nama “ajaib”. Tidak ada yang salah dengan hal ini, tetapi reksa dana semacam ini target market-nya seharusnya kalangan investor profesional. Bukan dijual luas ke publik.
Proses seleksi reksa dana yang lain, untuk yang sudah terbiasa berinvestasi di saham, adalah dengan membaca fund fact sheet reksa dana tersebut. Beberapa data-data di fund fact sheet reksa dana dapat membantu. Misalnya rata-rata Price/Earning ratio, atau rata-rata Price/Book ratio reksa dana tersebut. Juga top holding-nya, lima atau sepuluh saham terbesar di portofolio. Sayangnya, data-data ini sudah sangat jarang tersedia sekarang.
Ada cara lain? Minimum cari sales representative yang tujuan hidupnya bukan untuk uang semata, melainkan untuk purpose atau tujuan yang lebih besar. Misalnya sales rep yang menemukan kebahagiaannya dari membantu klien, bahagia melihat portofolio kliennya bertumbuh. Mereka membantu kliennya untuk bisa membeli rumah, menyekolahkan anak, dan menikmati hari tua dengan tenang. Juga sales rep yang punya growth mindset, yang mau susah payah untuk terus belajar. Karena sales rep yang bekerja semata-mata untuk uang akan menghilang ala ninja di saat uang sudah tidak ada lagi.
Anyway, ada banyak alasan untuk lebih optimistis terhadap pasar modal kita ke depannya. Walau awalnya menyakitkan, seperti perubahan ke arah yang lebih baik pada umumnya, akhirnya kita akan melihat pasar modal yang jauh lebih sehat. Praktek goreng-goreng akan berkurang, kalaupun belum bisa hilang sama sekali.
Juga repo saham misalnya. Repo saham itu transaksi yang sebenarnya wajar. Yang menjadikan tidak wajar adalah apabila underlying sahamnya memiliki valuasi yang nggak masuk di nalar tingginya. Semoga ke depannya transaksi repo yang ada akan jauh lebih baik bagi investor.
Menutup tulisan ini, saya ucapkan selamat tahun baru. Eh sorry. Selamat menikmati dekade baru.
Ditulis oleh Wuddy Warsono, CFA, 4 Januari 2020