Optimistis Prospek IHSG
Di tahun 2016, IHSG akhirnya berhasil bangkit dengan mencetak return 15% setelah tahun sebelumnya melemah sebesar 12%. Keberhasilan IHSG untuk mencetak double digit return patut diapresiasi apalagi sepanjang tahun 2016, masih segar di ingatan kita semua bahwa banyak sekali sentiment yang mengejutkan pasar seperti BREXIT dan juga kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS.

Beruntung, kebijakan pengampunan pajak dan juga reboundnya harga komoditas seperti batubara, minyak kelapa sawit, karena pengetatan supply dan faktor cuaca dari beberapa negara produsen di kuartal 2 2016 mampu memberikan angin segar untuk IHSG.
Sentiment-sentimen diatas juga didukung oleh pertumbuhan laba para emiten dari berbagai sector seperti komoditas, telekomunikasi, consumer goods, konstruksi. Sebut saja seperti laba bersih ITMG +107%, ADRO +119%, TLKM +25%, BBNI +25%, BBCA +14%, HMSP +23%, UNVR +9%, WSKT +63%, TPIA +1.039%, AALI +223% sepanjang tahun 2016.
Emiten big cap lainnya seperti ASII pun seharusnya dapat mencatatkan kinerja yang lebih gemilang di tahun 2016 jika tidak terbebani dengan kinerja lini bisnis finansialnya. Sehingga, secara keseluruhan kinerja emiten big cap di tahun 2016 bisa dikatakan baik, apalagi di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berkisar di level 5%.
Di awal 2017 ini, terutama menjelang mayoritas emiten yang akan melaporkan kinerja kuartal 1 2017 nya, menurut kami emiten sektor komoditas akan mencatatkan growth yang bisa mencapai 2 digit secara year on year dikarenakan low base effect di kuartal 1- 2016 lalu dimana harga komoditas coal, crude palm oil, minyak mentah, masih sangat rendah.
NPL perbankan yang bergerak naik di tahun 2016 juga diperkirakan akan perlahan mulai membaik karena meningkatnya harga komoditas dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Sentiment positif terdekat yang bisa kita harapkan adalah apabila S&P memutuskan untuk memberikan peringkat layak investasi / investment grade kepada Indonesia di kuartal 2 – 2017 nanti. Apabila berhasil mendapatkan peringkat ini, maka yield obligasi pemerintah bisa mengalami penurunan. Bila berkaca pada pengalaman beberapa negara yang baru mendapatkan investment grade dari S&P dalam kurun 5 tahun terakhir, seperti Colombia, Romania, Latvia, Uruguay, and Phillippines, hampir semua negara itu mengalami penurunan cost of fund hanya dalam waktu 1 tahun sejak diupgrade oleh S&P ke investment grade.
Goldman Sachs beberapa waktu lalu mengestimasi bahwa bila Indonesia mendapatkan rating investment grade maka akan ada dana sekitar Rp 65 Triliun yang akan masuk dari Jepang.
Lalu, bagaimana dengan potensi kenaikan Fed Funds rate sebanyak 3 kali di tahun 2017 ini ?
Bila melihat historical kenaikan Fed fund rate di masa lalu, justru kenaikan Fed rate mengindikasikan bahwa Fed mencium bahwa angka inflasi akan mengalami kenaikan, dan biasanya kenaikan inflasi akan berimplikasi positif kepada harga komoditas mengingat komoditas merupakan alat hedge terhadap inflasi. Inilah yang dapat memberikan sentiment positif kepada Indonesia, mengingat negara kita adalah produsen dan eksportir komoditas utama seperti batubara dan minyak kelapa sawit. Sehingga, menurut kami, kenaikan Fed rate bukanlah sesuatu hal yang perlu ditakutkan. Terbukti, kenaikan Fed rate sebesar 3 kali dalam kurun waktu 15 bulan terakhir tidak menggoyahkan Rupiah dan mayoritas mata uang emerging market lainnya.
Survei para fund managers yang dilakukan oleh BOFA Merrill Lynch baru baru ini juga menunjukan bahwa para fund managers berpendapat US Dollar overvalued dan sudah terlalu crowded, biasanya ketika para fund managers memiliki view demikian, kenaikan US Dollar akan cenderung terbatas atau bahkan memulai trend penurunannya.
Namun, perlu diakui bahwa perekonomian dunia saat ini bertumbuh tidak secepat tahun 2005-2011 lalu dimana China menjadi main growth driver ekonomi dunia. Impact kenaikan harga komoditas terhadap daya beli masyarakat Indonesia juga belum terlihat signifikan, mungkin dikarenakan harga futures 12 bulan komoditas utama seperti batubara dan minyak kelapa sawit yang lebih rendah dibandingkan harga spot saat ini.
Bank Indonesia sendiri mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi di kuartal 1 2017 ini mungkin berkisar di 4,99-5%, hal ini tidaklah mengejutkan mengingat data penjualan semen, motor gede, dan beberapa emiten ritel masih menunjukan trend penjualan negatif secara year on year di dua bulan pertama tahun 2017 ini.
Di sisi lain, pemerintah saat ini juga bekerja dengan keras untuk mendorong pertumbuhan investasi dan ekonomi dalam negeri dengan membangun infrastruktur terutama di luar pulau Jawa yang selama ini perekonomiannya sangat bergantung kepada harga komoditas.
Komitmen pemerintah membangun jalan tol, pelabuhan, dan akhir-akhir ini terlihat jelas bagaimana Presiden Jokowi menaruh perhatian besar kepada proyek listrik 35.000 MW perlu diapresiasi. Sektor yang diuntungkan dari proyek ini tentunya adalah sektor kabel dimana permintaan kabel oleh PLN terus meningkat mulai dari tahun 2016 lalu hingga 2019 mendatang. Laba bersih emiten kabel pun mengalami kenaikan lebih dari 100% sepanjang tahun 2016 dan trend pertumbuhan laba diperkirakan masih akan terus terjadi hingga tahun 2019-2020 mendatang.
Kami menyukai sektor kabel dalam hal ini PT KMI WIRE CABLE INDONESIA (KBLI) sejak awal tahun 2016 karena kami meyakini Presiden Jokowi membutuhkan pembangunan transmisi listrik di seluruh Indonesia agar banyak investor yang mau berinvestasi di Indonesia dan menurut kami ini merupakan cerita yang sangat menarik (multi years growth story), apalagi valuasi emiten-emiten di sektor kabel masih diperdagangkan pada single digit price earning ratio.
Selain membangun transmisi listrik, pemerintah juga memiliki berbagai kebijakan pro petani terutama petani jagung dengan memberikan subsidi benih. Menurut kami ini akan memberikan sentimen positif juga kepada kinerja emiten produsen benih jagung seperti PT. BISI INTERNATIONAL (BISI) yang mencatatkan pertumbuhan laba double digit dalam beberapa tahun terakhir dan diperkirakan masih akan bertumbuh lagi di tahun ini. BISI merupakan market leader di benih jagung hibrida dengan market share lebih dari 50% dan saat ini valuasi price earning rationya berada di level terendah dalam 5 tahun terakhir dengan asumsi laba bersih tahun ini naik lebih dari 40%.
Secara keseluruhan kami masih optimis terhadap prospek IHSG di tahun 2017 ini dan kami perkirakan IHSG bisa menyentuh level 6.000 di tahun ini. Kami menyukai sektor komoditas terutama batubara dan minyak kelapa sawit yang akan menikmati kenaikan harga jual mereka secara penuh tahun ini setelah tahun lalu hanya menikmati kenaikan harga jual di kuartal 4 saja, lalu sektor perbankan karena saat ini valuasi price to book valuenya berada di level yang rendah dibandingkan rata-rata 5 tahun terakhir, kemudian consumer goods kami perkirakan akan mulai merasakan membaiknya daya beli masyarakat mulai semester 2 tahun ini, dan juga sektor konstruksi karena mayoritas emiten konstruksi telah melakukan right issue tahun lalu sehingga mereka siap untuk melaksanakan berbagai proyek infrastruktur.