Terima kasih Royce Gracie
Kemarin saya mendapat kesempatan yang luar biasa untuk bertemu dengan salah satu tokoh idola saya, Royce Gracie, di acara pembukaan Tatsujin Dojo di Jakarta.
Royce Gracie adalah orang pertama yang menjuarai kompetisi Mixed Martial Arts (MMA), UFC, yang diadakan pertama kali di tahun 1993.
Legenda keluarga Gracie dari Brazil, dengan Brazilian Jiu Jitsu yang kini mendunia, menjadi semakin solid dengan kemenangan Royce Gracie di UFC.
Karena Royce Gracie lah, kecintaan saya terhadap olah raga bela diri / martial arts yang sempat pudar (karena berkelahi kalah melulu) akhirnya bangkit kembali dan saya bertekad mempelajari Brazilian Jiu Jitsu. Martial arts mempunyai kontribusi yang sangat besar ke kehidupan saya, karir maupun kehidupan saya secara umum.
Tidak saya pungkiri saya suka pesta dan bersenang-senang. Tiap kali saya baca artikel “tanda-tanda anda terlalu banyak pesta”, sebagian besar koq ya memenuhi kriteria yang ada. Kriteria yang nggak masuk pun lebih karena kadang saya malu sendiri mengakuinya. Lah piye? Life is too short.
Ok, saya banyak pesta. Jadi saya sadar saya perlu balancing. Dan salah satu balancing yang saya sukai adalah martial arts (please jangan nanya balancing saya yang lain ya).
Apa yang saya pelajari dari martial arts?
Martial arts mengajarkan untuk berani berbeda dari yang lain. Hal ini terutama di “western” martial art. Coach Brazilian Jiu Jitsu suka melemparkan pertanyaan ke murid-muridnya “kalau kalian dalam situasi seperti ini, apa yang akan kalian lakukan?”.
Menariknya, tidak ada jawaban yang mutlak kebenarannya. Kadangkala murid akan menemukan solusi jalan keluar yang permutasinya belum pernah ada sebelumnya alias jurus baru.
Dalam Brazilian Jiu Jitsu, independent thinking sangat dihargai. Juga dengan cara ini, ilmu Brazilian Jiu Jitsu terus berkembang. Tidak heran kalau banyak yang menyebut Brazilian Jiu Jitsu sebagai “human chess”.
Dengan kebiasaan berpikir secara independen seperti ini, dalam berinvestasi di pasar saham saya juga nggak terlalu pusing dengan yang namanya konsensus. Gak takut, gak minder juga dengan yang namanya broker atau investor asing.
Contohnya saham Alfamart (AMRT). Banyak investor bilang ini saham mahal dan akan terus-menerus melakukan capital call. Sejak IPO tahun 2009, Alfmart telah melakukan 3x capital call (2012, 2014, dan 2015). Bahkan tahun 2016 pun, free cash flownya masih negatif.
Dengan vonis seperti ini, ya pantas-pantas aja sahamnya nggak banyak bergerak selama 5 tahun terakhir (terakhir ini rada naik dikit, mayan lah).
Kalau kita berpikir independen, sebenarnya konsensus soal Alfamart bisa kita challenge. Persis kayak waktu murid berpikir kritis di Brazilian Jiu Jitsu.
Pertama soal valuasi. Banyak yang melihat trailing PER Alfamart 39x. Sebenarnya kita harus melakukan penyesuaian seasonality dan forward looking PER nya sekitar 30x.
Karena lagi gencar-gencarnya investasi yang banyak dimodali dengan hutang, PER juga kurang pas dipakai sebagai acuan. Rasio yang lebih tepat adalah EV/EBITDA dan EV/sales. Dari segi EV/EBITDA misalnya, 10x untuk Alfamart nggak mahal. Bandingkan dengan CPALL di Thailand 16x dan Aces Hardware di atas 20x.
Secara EV/sales bahkan lebih murah lagi, 0.5x untuk Alfamart. Bandingkan dengan Aces di 3.4x dan Matahari Dept Store di 3x.
Kalau pakai bahasa orang dagang, Alfamart juga menarik. Tiap hari ada 3 toko Alfamart baru dibuka. Market cap dia saat ini sama dengan market cap dia tahun 2013, tapi jumlah toko sekarang 13.600 vs tahun 2013 sebanyak 9 ribu toko. CPALL di Thailand market capnya US$16bn atau 8x lipat Alfamart. Padahal jumlah toko Alfamart lebih banyak dibandingkan CPALL. Memang margin Alfamart di bawah CPALL tapi margin Alfamart mulai bergerak ke atas.
Mengenai risiko capital call, dalam hitungan saya koq situasi sepertinya akan berbalik. Jumlah pertambahan toko Alfamart sekitar 1.500 per tahun dan jumlah toko yang ada mencapai 13.600 saat ini. Lima tahun yang lalu, Alfamart hanya memiliki 6.000 toko, juga untuk menopang pembukaan 1.500 toko per tahun. Perbandingan nggak apple to apple. Sekarang “beban” pembukaan toko yang harus ditanggung toko yang sudah ada sudah jauh lebih ringan.
Jumlah hutang dibanding EBITDA sekitar 1.8x dan hitungan saya tahun 2019 udah free cash flow positif. Kalau rights issue lagi, duitnya itu buat opo toh? Bukannya Equity financing adalah bentuk pembiayaan yang paling mahal?
Selain berpikir secara independen, martial arts juga mengajari saya bagaimana untuk bangkit dari kekalahan. Ini penting buat investor karena namanya investasi pasti ada menang kalah (kalau bilang menang terus pasti 1.000% tukang boong). Intinya bagaimana kita mengatasi kekalahan, belajar dari kesalahan dan bangkit.
Saya juga merasa beruntung karena martial arts mengajarkan saya untuk fokus. Kalah dalam sparring memaksa saya untuk menciptakan daftar “hal-hal yang tidak boleh saya lakukan waktu sparring”.
Daftar hal-hal yang tidak boleh dilakukan seringkali lebih efektif daripada daftar hal-hal yang harus dilakukan. Mengapa demikian? Karena apa yang tidak kita lakukan akan sangat menentukan apa yang akan kita lakukan. Mengurangi kesalahan dalam berinvestasi adalah salah satu kunci utama menuju sukses.
Terima kasih Royce Gracie dan terima kasih Brazilian Jiu Jitsu (btw, sejak belajar Brazilian Jiu Jitsu, saya nggak lagi kalah melulu kalau berkelahi lho).
Jakarta, 18 Juli 2017
Bambang Siregar – Money, fun & fearless